Konon, Pekalongan berdiri pada saat di desa
Kesesi ada seorang terpandang dan sakti bernama Ki Ageng Cempaluk. Ia
mempunyai putra bernama Raden Bahu. Pada waktu itu kerajaan Mataram amat
jaya dan Ki Ageng Cempaluk menyuruh putranya untuk mengabdi kepada raja
Mataram, yaitu Sultan Agung Hanyokrokusumo.
Entah apa kesalahan yang diperbuat oleh Raden Bahu sehingga sang Raja
menghukumnya dengan membuka hutan Gambiran. menurut cerita hutan itu
amat lebat dan dihuni oleh mahluk jahat. Karena ini Raden Bahu bertapa
menggelantung seperti kelelawar atau kalong. Maka tapa seperti itu
disebut tapa ngalong. Setelah bertapa, Raden Bahu berhasil membuka
hutan, dan menjadikan 'kota' yang ramai yang dikenal dengan nama kota
Pekalongan.
Tetapi ada cerita lain, bahwa pekalongan itu berasal dari A Pek Along
An. Yang artinya penangkapan ikan laut. Rupanya sejak abad 17, belanda
masuk ke Pekalongan, Pekalongan begitu kaya akan ikan laut.
Pekalongan yang dalam sejumlah tulisan disebut berdiri pada jaman sultan
Agung dari kerajaan Mataram, walaupun masih ada kemungkinan keberadaan
Pekalongan sebagai sebuah wilayah hunian telah terjadi jauh sebelumnya.
Di wilayah ini, sejak abad 19 telah terjadi perkembangan desain batik
yang paling dinamis. Kondisi ini menunjukkan kompleksitas sosial yang
terjadi di wilayah itu. Betapa tidak, bayangkan hampir seluruh corak
ragam asing muncul dalam desain batik Pekalongan. batik dari wilayah ini
sangat kosmopolitan. Corak ragam khas India, Turki, Persia, China dan
Belanda terlihat mencolok dalam wilayah batik Pekalongan, bahkan
menjelang tahun 1940 di Pekalongan mucul batik dengan gaya Jepang, yang disebut batik
Java Hokokai.
Dalam buku Batik Fabled Cloth Of Java, disebutkan bahwa batik telah
diperdagangkan di wilayah ini mulai tahun 1840, tetapi kemungkinan ini
bisa lebih awal lagi. Hanya sejak saat itu, dapat disebutkan bahwa di
wilayah ini telah berkembang perdagangan batik yang pesat. Kalangan
pedagang keturunan, terutama keturunan Cina dan Arab yang banyak tinggal
di wilayah pesisir terdorong untuk menjadikan batik sebagai komoditas
dagang. Perkembangan yang dipicu oleh hilangnya kain asal di India dan
munculnya pasar baru seiring dengan munculnya sejumlah kelas menengah
baru di wilayah Indonesia sebagai akibat pemberlakuan kebijakan tanam
paksa (cultivation system) oleh Belanda. Kalangan pedagang ini pada
awalnya hanya memesan batik pada pengrajin batik yang saat itu banyak
tersebar di desa-desa. Konon praktek pemesanan batik oleh kalangan
keturunan asing kepada pengrajin yang ada di wilayah pedesaan ini telah
berlangsung sejak sebelum VOC.
Meminjam kacamata Heringas dan Veldhuisen, batik pesisir terbagi menjadi delapan model :
1. Batik pesisir tradisional yang merah biru
2. Batik hasil pengembangan pengusaha keturunan, khususnya Cina dan indo Eropa
3. Batik yang dipengaruhi kuat oleh Belanda
4. Batik yang mencerminkan kekuasaan kolonial
5. Batik hasil modifikasi pengusaha Cina yang ditujukan untuk kebutuhan kalangan Cina
6. Kain panjang
7. Batik hasil pengembangan dari model batik merah biru
8. Kain adat
Sampai dengan hari ini Pekalongan dikenal sebagai kota penghasil batik
dengan ciri-ciri motif flora, fauna, dan sebagian geometris,
warna-warni, disain batik tidak terpaku dengan pakem, seperti pada batik
Solo dan Jogjakarta. Pengaruh budaya Cina, Arab, indo eropa dan
bagaimana penduduk pribumi menemukan cara baca baru terhadap osmose
budaya itu menghasilkan ciri batik Pekalongan mutakhir.
Batik telah menjadi masa lalu, masa kini dan masa depan masyarakat Pekalongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar